Perekonomian
merupakan permasalahan yang begitu kompleks dalam kehidupan ini. Berbagai
bentuk usaha diperlukan sebagai usaha untuk memenuhi kebutuhan hidup manusia.
Di antaranya adalah Koperasi. Koperasi Indonesia sebenarnya merupakan salah
satu badan usaha yang ada dalam perekonomian Indonesia. Keberadaannya
diharpakan dapat banyak berperan aktif dalam mewujudkan kesejahteraan dana
kemakmuran rakyat. Namun di era reformasi ini keberadaannya banyak
dipertanyakan, bahkan seringkali ada yang mengatakan sudah tidak terlalu
terdengar lagi dan apakah masih sesuai sebagai salah satu badan usaha yang
berciri demokrasi dan dimiliki oleh orang per orang dalam satu kumpulan,
bukannya jumlah modal yang disetor seperti badan usaha lainnya. Padahal
Koperasi diharapkan menjadi soko guru (tulang punggung) perekonomian nasional.
Pada awal
mulanya Koperasi dibentuk oleh masyarakat Indonesia yang dimulai di Purwokerto
dan terus berkembang pula di Tasikmalaya dan daerah-daerah lainnya. Namun
dalam perjalanan selanjutnya inisiatif perkembangannya banyak dilakukan oleh
Pemerintah, sehingga timbul kesan bahwa Koperasi hanya merupakan alat Pemerintah
untuk kepentingan politiknya. Sejak adanya Lembaga Menteri Muda Urusan Koperasi
yang meningkat menjadi Kementrian Koperasi, koperasi dikembangkan dengan sistem
“top down – bottom up” memberikan fasilitas dan kemudahan dari atas, bahkan ada
kalanya yang mengatakan perjalanan koperasi saat itu berjlana secara tuntas.
Maksudnya adalah dituntun dari atas.
Hal itu
dengan harapan adanya pertumbuhan kelembagaan dari bawah. Ternyata harapan
tersebut tidak tercapai walaupun telah diupayakan melalui program Koperasi Mandiri.
Kelembagaan Koperasi seperti rapuh karena mengutamakan fasilitas usaha yang
banyak dimanfaatkan oleh sekelompok pengurusnya tanpa ada keterkaitan usaha
dengan anggotanya, titik jenuh pengembangan Koperasi nasional terjadi diawal
reformasi karena pengembangan usaha yang berlebihan, yang tidak didukung
dengan kekuatan kelembagaan yang memadai. Koperasi semakin surut dan
tidak menarik lagi bagi mass media untuk bahan pemberitaannya, disisi lain
harapan untuk mensinergikan Usaha Kecil dan Menengah dengan Koperasi dirasakan
malah meminggirkan Koperasi, perbincangan nasional mengenai Pembinaan Pengusaha
Kecil terus berkembang menjadi Usaha Kecil Mengengah bahkan Pimpinan Kementrian
Koperasi dan UKM jarang berbicara Koperasi yang ditampilkan UKM yang terus
berkembang menjadi Usaha Mikro Kecil dan Menengah. Melihat kondisi demikian ini
rasanya Koperasi semakin terpinggirkan.
Menurut Undang Undang Republik Indonesia Nomor 22
Tahun 1992 tentang Perkoperasian, dikatakan bahwa koperasi adalah badan usaha
yang beranggotakan orang-orang atau badan hukum Koperasi dengan berlandaskan
kegiatannya berdasarkan prinsip koperasi sekaligus sebagai gerakan ekonomi
rakyat yang berdasar atas asas kekeluargaan.
Sementara itu dalam Undang Undang Dasar Republik
Indonesia Tahun 1945 (sebelum diamandemen) kata koperasi ini disebut dan
dicantumkan dalam penjelasan pasal 33. Namun setelah amandemen, penjelasan atas
pasal-pasal dari UUD 1945 dimasukkan dalam batang tubuh. Entah sengaja atau
karena khilaf, ternyata kata koperasi ini tidak ikut masuk. Alias ketinggalan
atau malah ditinggalkan?
Nampaknya para penyusun UU No. 22 Tahun 1992 itu
(Presiden dan DPR) sudah lupa bahwa para founding father kita bercita-cita
untuk menjadikan koperasi sebagai sokoguru perekonomian Indonesia. Koperasi
dianggap sebagai badan usaha yang terlalu banyak merepoti pemerintah. Karena
banyak kredit program yang diterima koperasi (utamanya KUD) raib diselewengkan
pengelolanya.
Namun kenyataan di lapangan, berbicara lain. Saat Indonesia
mengalami krisis berkepanjangan, justru eksistensi koperasi nampak nyata. Saat
hampir semua bank-bank besar macam BCA, Bank Lippo (bank swasta) , maupun bank
pemerintah: Bank Bumi Daya, Bank Bapindo dan Bank Dagang Negara (yang kemudian
ketiga bank terakhir dilebur menjadi Bank Mandiri) dan banyak bank lain pada
colaps, koperasi masih bisa menjadi tumpuan anggota dan masyarakatnya dalam hal
melayani keperluan modal.
Tak bisa dibayangkan, manakala saat itu, selain bank,
koperasi juga ikut colaps, pasti akan semakin banyak jumlah angkatan kerja yang
mengalami PHK.
Meskipun demikian, sampai sekarang, di mata perbankan,
posisi tawar koperasi masih dipandang sebelah mata. Untuk bisa memperoleh
kredit, di banyak bank, perlu koperasi melengkapi banyak persyaratan yang
sering merepotkan. Memang banyak koperasi yang nakal. Tapi masih lebih banyak
koperasi yang baik.
Koperasi dan koperasi, dalam praktek, ada bedanya.
koperasi (yang sejati) dibentuk dari, oleh dan untuk memenuhi kebutuhan
anggota. Sementara koperasi dibentuk seorang seorang pemodal yang ingin memutar
uangnya di koperasi. Hal ini dimungkinkan, karena untuk membentuk koperasi,
pasca reformasi, sangatlah mudah.
Dulu, badan hukum koperasi harus disahkan oleh Kantor
Wilayah Koperasi Propinsi, selaku wakil dari Pemerintah. Sekarang, cukup
disahkan oleh Dinas Koperasi Kabupaten/Kota saja.
Sejatinya koperasi dibentuk demi untuk kesejahteraan
anggotanya. Sementara koperasi dibentuk demi keuntungan pemodal semata.
Ibaratnya PT berbaju koperasi. Bahkan, tak jarang, mereka (para pemodal) itu
rela membeli badan hukum koperasi yang sudah tidak aktif lagi dengan nilai tak
kurang dari puluhan juta rupiah.
Jadi, ketika UUD 1945 sudah menganggap tidak perlu
untuk mencantumkan lagi kata kopersi, ketika perbankan masih memandang koperasi
dengan sebelah mata, ketika banyak PT yang beroperasi dengan kedok koperasi,
masihkah koperasi dianggap sebagai soko guru perekonomian Indonesia?
Gerakan koperasi pada saat ini bisa dikatakan makin
meredup. Sebab, seperti yang dikatakan Budi Laksono (2007), pejabat pemerintah
kehilangan jejak substansi filosofis pembangunan koperasi sebagai soko guru
ekonomi. Selain itu, disebabkan pula oleh perubahan Departemen Koperasi menjadi
Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil Menengah (UKM). Sehingga, berimplikasi
pada menurunnya perhatian pemerintah pada upaya menggerakkan koperasi yang
digagas pendiri bangsa, Bung Hatta sebagai soko guru perekonomian. Karena itu,
tak heran, jika Sri Edi Swasono pakar koperasi menilai bahwa, langkah-langkah
yang dilakukan Kementrian Koperasi dan UKM salah arah dan hanya terfokus pada
UKM. Padahal, lanjut Swasono, UKM lebih banyak dilakukan oleh
individu-individu, sedangkan koperasi lebih mengedepankan kebersamaan.
Di samping itu, koperasi yang sudah makin meredup itu,
diperparah lagi dengan konflik internal aktivis gerakan koperasi. Konflik yang
sebenarnya sudah terjadi dua tahun lalu itu, diawali oleh kelompok aktivis
gerakan koperasi ketika mendeklarasikan Dekopin tandingan. Deklarasi Dekopin itulah
kemudian yang menyeret Kementrian Koperasi dan UKM untuk terlibat masuk ke
arena konflik, karena dianggap telah menelurkan keputusan yang merugikan salah
satu pihak yang bertikai. Menteri akhirnya digugat dan berperkara hukum dengan
salah satu Dekopin yang dikembari. Tak urung, pembinaan koperasi di daerah
makin kedodoran. Sebab, dewan koperasi yang semestinya menjadi payung
koperasi-koperasi di daerah tidak lagi sempat memikirkan pengembangan dan
pembinaan, karena lebih asyik bertikai dengan sesama aktivis Dekopin lain
versi, yang sampai saat ini belum kunjung usai. Sehingga, akibat konflik itu,
dana pembinaan koperasi dari APBN oleh Menteri Keuangan tidak dicairkan sebelum
kasus pertikaian itu selesai.
Oleh karena itu, pemerintah harus segera sadar terhadap
urgensi peran koperasi dalam menuntaskan kemiskinan di negeri ini. Seperti yang
telah banyak dilakukan oleh negara-negara lain. Jangan hanya bertikai.
Bagaimanapun juga koperasi yang sejatinya suatu lembaga ekonomi untuk menolong
diri sendiri secara bersama-sama, sangat penting dalam meminimalisasi angka
pengangguran yang makin meningkat. Karena itu, revitalisasi koperasi perlu
ditingkatkan kembali di berbagai daerah di negeri ini.
Referensi
terimakasih atas artikelnya gan, sangat bermanfaat dan menambah pengetahuan baru buat saya
BalasHapus