Dear Blogger's

My name is "Claudia Christi"
Born in Kediri, East Java
Now I live in Jakarta
I'm studying accounting at University Gunadarma

Senin, 09 Juni 2014

UU Tentang Perlindungan Konsumen

PENGERTIAN UU PERLINDUNGAN KONSUMEN
·         Pengertian Perlindungan Konsumen
Perlindungan konsumen adalah perangkat hukum yang diciptakan untuk melindungi dan terpenuhinya hak konsumen. Sebagai contoh, para penjual diwajibkan menunjukkan tanda harga sebagai tanda pemberitahuan kepada konsumen.
·         UU Perlindungan Konsumen
Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen Republik Indonesia menjelaskan bahwa hak konsumen diantaranya adalah hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam mengonsumsi barang dan atau jasa; hak untuk memilih barang dan atau jasa serta mendapatkan barang dan atau jasa tersebut sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang dijanjikan; hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif; hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi dan atau penggantian, apabila barang dan atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya; dan sebagainya. Di Indonesia, dasar hukum yang menjadikan seorang konsumen dapat mengajukan perlindungan adalah:
1.      Undang Undang Dasar 1945 Pasal 5 ayat (1), pasal 21 ayat (1), Pasal 21 ayat (1), Pasal 27 , dan Pasal 33.
2.      Undang Undang No. 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen (Lembaran Negara Republik Indonesia tahun 1999 No. 42 Tambahan lembaran Negara Republik Indonesia No. 3821
3.      Undang Undang No. 5 tahun 1999 Tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Usaha Tidak Sehat.
4.      Undang Undang No. 30 Tahun 1999 Tentang Arbritase dan Alternatif Penyelesian Sengketa
5.      Peraturan Pemerintah No. 58 Tahun 2001 tentang Pembinaan Pengawasan dan Penyelenggaraan Perlindungan Konsumen
6.      Surat Edaran Dirjen Perdagangan Dalam Negeri No. 235/DJPDN/VII/2001 Tentang Penangan pengaduan konsumen yang ditujukan kepada Seluruh dinas Indag Prop/Kab/Kota
7.      Surat Edaran Direktur Jenderal Perdagangan Dalam Negeri No. 795 /DJPDN/SE/12/2005 tentang Pedoman Pelayanan Pengaduan Konsumen
CONTOH KASUS
Perum Pegadaian sebagai salah satu perusahaan yang memberikan pelayanan masyarakat dalam hal pemberian pinjaman kepada pihak yang butuh dana ( debitur) telah memakai prinsip tanggung jawab mutlak (strict liability) dalam hal terjadinya wanprestasi atau perbuatan melawan hukum. Perusahaan akan langsung memberikan penggantian kerugian akibat kesalahan atau kelalaian yang mengakibatkan rusak, hilang dan musnahnya barang yang dijaminkan tersebut. Tanggung jawab mutlak (strict liability) ini memberikan beban tanggung jawab pada pihak tergugat, atau dengan kata lain kesalahan langsung dianggap telah dilakukan oleh pihak tergugat. Pihak tergugat harus membayar semua kerugian yang diderita oleh seseorang tanpa mempersoalkan ada tidaknya unsur kesalahan. Unsur kesalahan yang merupakan unsur mutlak(liability based on fault), di pandang sebagai suatu relevan dengan penerapan prinsip tanggung jawab mutlak (strict liability).
Dalam hal ini, Pegadaian telah melaksanakan prestasi terhadap perjanjian tersebut. Tetapi, pokok permasalahan yang sangat menonjol disini adalah tidak puasnya nasabah atau konsumen terhadap besarnya biaya ganti rugi barang jaminan yang diberikan perusahaan berdasarkan ketentuan yang tercantum dalam Surat Bukti Kredit (SBK). Dimana, besar ganti rugi dinilai secara philosofi tidak mencerminkan prinsip keadilan baik secara material dan  psikologis barang jaminan, misalnya : secara material jumlah ganti rugi tidak dapat lagi dibelikan barang jaminan seperti sedia kala sedangkan secara psikologis dan historis, kondisi barang jaminan tersebut tidak dapat dibuat seperti bentuk aslinya.

Dalam penetapan pembayaran ganti rugi barang jaminan di Perum Pegadaian yang tercantum pada perjanjian dalam Surat Bukti Kredit (SBK) umumnya sudah dipahami oleh nasabah, walaupun perjanjian kredit tersebut isinya telah ditentukan secara sepihak oleh Perum Pegadaian, namun mereka sebagai pihak yang lemah atau sangat membutuhkan dana mau tidak mau harus bersedia menandatangani perjanjian tersebut tanpa memikirkan dampak hukumnya di kemudian hari.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar